Ada sesuatu yang tidak bisa dimengerti benar dengan cara berpikir pemerintah indonesia, utamanya dalam menangani krisis ekonomi. Kita tampaknya telah pula mengikuti pola penanganan ekonomi liberalisme-kapitalis, walaupun sebenarnya sudah terbukti bahwa mazhab ekonomi liberalisme-kapitalis itu tidak sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia dan melanggar Konstitusi. Meski sudah terbukti tidak sesuai dan melanggar konstitusi, para pemegang kebijakan moneter kita, seperti Presiden, Meneteri Keuangan, Menko Ekonomi, terus menerus melakukan pelanggaran konstitusi dan mengatakan kepada rakyat betapa keadaan ekonomi kita sudah membaik. Ekonomi siapa yang membaik? Ekonomi rakyat, atau ekonomi penyelenggara negara?
Sebelum lebih lanjut saya akan memberikan sebuah ilustrasi bagaimana negara menangani krisis ketika harga-harga saham jatuh di stock market. Pemerintah memberikan stimulus ekonomi dengan gerak yang sangat cepat sebesar ratusan trilliun rupiah.
Untuk apa uang itu? Untuk berjaga dan menopang harga saham sehingga tidak terjun bebas dan tidak merugikan para pemegang saham dan corporat. Siapakah para pemegang saham dan corporat? Mereka adalah orang-orang berduit yang jumlahnya tidak mencapai 5% dari penduduk negara Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa. Bahkan beberapa di antaranya adalah orang asing. Apakah arti krisis bursa saham bagi 95% rakyat Indonesia yang tidak memiliki saham?
Sangat kecil, nahkan mungkin tidak ada sama sekali. Pemerintah berdalih lewat Sri Mulyani mengatakan bahwa apabila kondisi stock market tidak diselamatkan, itu akan membahayakan perekonomian nasional. Padahal, perilaku ekonomi mereka yang berduit ini adalah: mereka sama sekali tidak mencerminkan dukungannya terhadap peningkatan ekonomi lokal, karena mereka lebih banyak membelanjakan uangnya di luar negeri dan lebih banyak membeli produk luar negeri.
Jadi, perekonomian siapa yang diselamatkan oleh pemerintah?
Baru-baru ini pemerintah menggelontorkan uang sebesar Rp6,7 Trilliun untuk menyelamatkan Bank Century. Lagi-lagi dengan dalih menyelamatkan ekonomi nasional, sementara di pihak lain, pemerintah mencabut subsidi minyak tanah sebesar 100.000 kilo liter (setara dengan Rp700.000.000) untuk keperluan industri open tembakau di Lombok. Alasan pencabutan adalah; pemerintah tidak bisa lagi menanggung subsidi BBM karena harga minyak dunia yang semakin merambat naik dan tidak stabil. Karuan saja para petani tembakau menjadi kalang kabut. Tembakau yang menjadi komoditi andalan petani sudah tertanam, dipanen dan siap diopen. Namun minyak tanah sangat langka. Pemerintah menyodorkan beberapa pilihan; mengganti minyak tanah dengan Batu bara, atau mengganti tanaman tembakau dengan komoditi lain.
Sepintas lalu, ada pilihan dan masalah terselesaikan, karena batu bara jauh lebih murah dibandingkan dengan minyak tanah. Tetapi kelemahannya banyak sekali. Selain masalah kualitas yang berkurang, warna tembakau menjadi agak kehitaman. Selain itu, itu menimbulkan panas batu bara, dibutuhkan kayu bakar yang banyak. Petani banyak menebang pohon untuk keperluan open tembakau. Dan tentu saja tidak bagus bagi masa depan lingkungan kita, karena keperluan menebang itu tidak disertai dengan kegiatan menanam pohon. Sedangkan opsi kedua, kelihatannya tidak begitu menarik bagi masyarakat petani, karena selain tembakau, tidak ada komoditaspertanian lain yang bisa memberikan keuntungan sebesar tembakau.
Perilaku penyelamatan ekonomi seperti ini banyak terjadi di sub sektor pertanian lainnya. Misalnya dalam hal subsidi pupuk yang semakin dikurangi, tetapi pemerintah tidak membeli gabah dari petani dengan harga pantas. Apabila petani menginginkan harga yang lebih tinggi, maka pemerintah akan mengekspor beras dari Thailand atau negara penghasil beras lainnya dengan alasan menyelamatkan stock pangan nasional. Lantas petani kita mau diapakan?
Baru-baru ini dalam penjelasannya terhadap pidato nota keuangan Presiden RI tanggal awal Agustus lalu, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah memberikan subsidi pajak penghasilan sebesar Rp11 trilliun bagi kebijakan ramah investasi. Artinya, pengusaha tidak perlu membayarkan pajak penghasilan bagi para pekerjanya, karena sudah disubsidi emerintah. Bukankan itu artinya, pengusaha sebenarnya bisa menaikkan upah buruh karena kebijakan itu? Tapi sampai tulisan ini diposting, belum ada laporan adanya kenaikan gaji buruh dari para pengusaha kaya itu. Sementara harga-harga terus merambat naik.
Kenaikan yang tidak masuk akal ini juga disebabkan karena pemerintah tidak mengontrol pasar dengan benar. Sebagai bahan perbandingan, di Malaysia, harga sebuah produk itu sama di semua tempat dari bandar (kota) sampai ke kampung-kampung. Tidak ada perbedaan harga satu sen pun. Apabila ada pedagang yang berani menaikkan harga sedikit saja, maka otoritas bisnis Malaysia akan memberikan sanksi yang sangat berat kepada pedagang itu berupa penutupan tempat usaha dan mencabut izin usaha tanpa batas waktu. Kapan kita bisa begitu di Indonesia?
Harga kopi turun di pasaran dari Rp15.000/kg menjadi Rp10.000/kg, tapi harga kopi kemasan cenderung merambat naik. Apa yang salah dengan "penyelenggara ekonomi" negara kita? Mungkin inilah yang disebut dengan ekonomi belah bambu. Mengangkat sebelah pihak dan menginjak pihak yang lain. Celakanya, yang diinjak adalah bagian terbesar bangsa ini.
Ikuti Forum-nya:
No comments:
Post a Comment